Blog

• MENGENAL PARA IMAM 7

  • 1
  • Imam Nafi`, beliau mempunyai 70 (tujuh puluh) guru yang mengajarinya cara membaca Al-Qur`an, 70 puluh orang ini dari generasi tabi`in. Sudah berapa guru mengaji yang kita miliki atau jangan-jangan belum punya sama sekali. Hanya punya guru yang mengajari membaca kalimat-kalimat Al-Qur`an saja, tapi kita belum pernah menghatamkan seluruh Al-Qur`an di hadapannya? Minimal kita punya satu guru yang pernah mendengarkan dan menyimak cara membaca Al-Qur`an kita secara keseluruhan, mulai dari Al-Fatihah hingga Al-Nâs. Satu guru itu minimal.
  • Jika kita melihat orang yang ditakdirkan Allah SWT dengan kekurangan panca indra, tuli atau buta, maka itu bukanlah alasan malas belajar membaca Al-Qur`an. Tahukah kita bahwa salah satu murid Imam Nafi` yang sangat terkenal, yaitu Imam Qalûn adalah seorang imam ahli membaca Al-Qur`an namun beliau adalah orang yang tidak dapat mendengar, sehingga imam Qalûn belajar membaca Al-Qur`an dengan cara memperhatikan gerak bibir gurunya lalu melafadzkan Al-Qur`an dan gurunya mengarahkan bacaannya hingga benar. Bisakah kita membayangkan, bagaiman sulit cara belajar beliau dalam membaca Al-Qur`an dengan bacaan yang tepat sesuai dengan bacaan guru-gurunya. Namun konon ada yang menceritakan bahwa Imam Qalûn memang tuli namun jika dibacakan Al-Qur`an maka beliau bisa mendengarkan

2

  • Kedua, Imam Ibnu Katsir adalah seorang yang tidak mempunyai keturunan dari bangsa Arab, namun beliau menjadis eorang ahli bahasa Arab dan imam ahli membaca Al-Qur`an. Beliau bekerja sebagai penjual minyak wangi. Profesi dan pekerjaan bukanlah alasan tidak belajar membaca Al-Qur`an dan tidak menjadi orang yang mahir membaca Al-Qur`an, contohnya adalah seperti Ibnu Katsir yang pekerjaannya adalah menjual minyak wangi.
  • Tak ada alasan jika orang Indonesia menjadi ahli dan mahir membaca Al-Qur`an seperti para hafidz yang didelegasikan negara Indonesia ke berbagai negara sebagai duta bangsa memenangkan lomba membaca dan menghafal Al-Qur`an tingkat international.

3

  • Ketiga, Imam Abu Amar yang gemar membaca dan ahli Al-Qur`an dan memiliki guru baca Al-Qur`an tak terhitung. Selain mahir dan alim dalam ilmu Al-Qur`an dan cara-cara membacanya, beliau juga mempunyai kitab-kitab dan buku-buku yang konon dikumpulkan penuh satu rumah hingga ke atapnya. Jika kita menghatamkan Al-Qur`an dalam sebulan atau sewaktu bulan Ramadhan saja, maka Imam Abu Amar ini berjanji kepada dirinya dan mampu menghatamkan Al-Qur`an setiap tiga hari sekali. Tak bisa setiap 3 (tiga) hari hatam Al-Qur`an sekali ya minimal 30 (tiga puluh) hari kita berusaha menghatamkan Al-Qur`an.

4

  • Keempat,  Imam Ibnu Amir ahli baca Al-Qur`an yang pernah memohon kepada Allah SWT 7 hal dan semua dikabulkan Allah SWT di dunia pada waktu hidupnya, hanya satu hal yang belum terlaksana di dunia.  
  • Dengan meniru 7 permohonan imam Qira`at Sab`ah ini, kita perlu memohon juga agar mampu menjadi orang yang benar-benar percaya kepada Rasulallah SAW dalam segalanya; kita juga memohon kepada Allah SWT agar bisa naik haji; memohon umur panjang dalam kebaikan; berdoa mendapatkan seribu dirham (uang milyaran rupiah); memohon agar manusia datang kepada kita belajar Al-Qur`an kepada kita; berkesempatan menyampaikan khutbah di masjid Damaskus; dan memohon agar dosanya diampuni Allah SWT.

5

  • Kelima, Imam Ashim yang bacaannya seperti bacaan yang digunakan di kebanyakan daerah islam, termasuk di Indonesia. Beliau ini menjadi magnet bagi para pelajar dari segala penjuru dunia Islam saat itu yang ingin belajar membaca Al-Qur`an dengan baik dan benar.
  • Selain memiliki suara yang cemerlang, beliau juga fasih dan kuat dalam bacaan tajwidnya.  Ibarat wanita cantik yang dibalut dengan pakaian indah, suara merdu dan syahdu beliau yang dipadukan dengan bacaan fasih dan kuat tajwidnya menjdai sebuah daya tarik tersendiri dari beliau.

6

  • Keenam, Imam Hamzah yang menjadi penolak bencana dan mala petaka untuk penduduk wilayah Kufah saat itu, seperti yang dikatakan Muhammad ibn Fudlail. Tidak heran, karena beliau adalah ahli Al-Qur`an yang disebut sebagai ahli Allah SWT dan termasuk dalam kelompok pilihan-Nya.
  • Meskipun hidupnya digunakan belajar dan mengajar Al-Qur`an, namun beliau tidak menerima upah atau gaji dari menjadi guru yang mengajar Al-Qur`an, beliau mengembalikan sejumlah uang dirham yang diberikan salah satu muridnya kepada beliau dan berkata “aku mengharapkan surga Firdaus sebagai balasan apa yang aku kerjakan”.

7

  • Ketujuh, Imam Al-Kisa`iy. Beliau adalah seorang ahli bahasa Arab meskipun dia belajarnya dimulai ketika umurnya sudah cukup tua. Dikisahkan, pada suatu hari Al-Kisa`iy melakukan perjalanan cukup jauh hingga ia merasa payah dan letih. Ia lalu menghadiri majlis ilmu yang kebetulan dia jumpai disana sembari untuk sekedar beristirahat. “Maaf, saya numpang istirahat, saya sangat lelah”. Dalam bahasa Arabnya dia ungkapkan dengan kalimat (قَدْ عَيَيْتُ),” Maksudnya, Al-Kisa’iy meminta izin. Dijawab “Bagaimana Anda berani hadir dalam majlis kami, sementara Anda melakukan kesalahan dalam menggunakan bahasa?” Alkisa`iy heran: “Apa yang salah dalam kalimat saya tadi?” Al-Kisa`iy bertanya. Akhirnya dijelaskan “Jika yang anda maksud adalah letih dan lelah maka katakanlah (أَعْيَيْتُ) dan jika yang Anda maksud adalah kesulitan melakukan satu pekerjaan karena tak mengerti caranya maka katakanlah (عَيَيْتُ)”
  • Teguran ini sangat meninggalkan kesan di dalam hati Al-Kisa’iy. Seketika itu juga beliau bertanya, siapa tokoh yang benar-benar mahir dalam ilmu gramatika bahasa Arab. Mereka lalu menunjukkan dua guru ilmu bahasa Arab yang hebat, yaitu Muadz dan Imam Khalil. Saat itu usia Al-Kisa’i cukup tua untuk memulai menjalani hidup sebagai pelajar. Akan tetapi mencari ilmu tak mengenal batas usia. Ia belajar dengan sangat-sangat gigih, sehingga di kemudia hari beliau menjadi terkenal sebagai salah satu ahli baca Al-Qur`an dan ahli ilmu bahasa gramatika bahasa Arab.

Di Balik Perintah Puasa dalam QS. Al-Baqarah: 183

 Oleh Nur Faizin Muhith

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa

 

Kita semua hampir hafal ayat puasa ini. Ayat itulah yang selalu dikutip pada bulan Ramadhan sebagai dalil atas kewajiban berpuasa bagi umat Islam. Dalam tulisan berikut ini, penulis berharap semoga Allah Swt berkenan memberikan secercah cahaya kepada kita semua melalui kalimat-kalimatNya yang jika seandainya kayu hutan belantara itu menjadi kalamnya dan lautan itu tintanya, niscaya semua itu habis dan kurang sebelum terungkap semua rahasia di baliknya.

Pertama, perintah berpuasa di dalam ayat tersebut merupakan perintah langsung (direct order) dari Allah Swt kepada manusia. Dalam proses pewahyuan Al-Quran, Allah Swt memerintahkan Jibril untuk menyampaikannya kepada Rasulallah Saw dan kemudian Rasulallah Saw menyampaikannya kepada umatnya. Di dalam sejumlah ayat Al-Quran, Allah Swt memulai perintahnya dengan kalimat perintah ( ….   قُلْ يَا أَيُّهَا) “katakanlah Muhammad, wahai…..” seperti dalam QS. Yunus: 104, Al-Hajj: 49, Ali Imran: 64, 98, 99, Al-Kafirun: 1, dan lain sebagainya. Pada ayat puasa di atas, Allah Swt secara langsung memanggil kita; tanpa perantara Rasulallah Saw. Seakan-akan Allah Swt sedang memanggil dan berbicara langsung kepada kita. Kondisi yang digambarkan ayat seperti ini sangat sejalan dengan pernyataan Allah Swt dalam sebuah Hadits Qudsi: “ibadah puasa adalah milik-Ku (Allah Swt) dan aku sendiri yang akan membalas pahalanya” (HR. Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani). Perintah puasa adalah perintah yang langsung diserukan Allah Swt kepada manusia. Perintah puasa adalah ibadah berdimensi vertikal tanpa perantara. Dan ibadah puasa adalah ibadah yang pahalanya hanya akan diberikan Allah Swt secara langsung.

Kedua, kedekatan Allah Swt kepada manusia itu bukan tanpa latar belakang. Manusia bisa dekat sehingga mendapatkan perintah secara langsung dikarenakan mereka adalah orang-orang yang beriman (الَّذِينَ آَمَنُوا). Berbeda dengan orang-orang non-mukmin, misalkan muslim namun munafik, kafir, atau ahli kitab. Meskipun semua orang-orang ini hidup dan dijumpai pada masa pewahyuan, namun mereka tidak mendapatkan perintah langsung dari Allah Swt, karena mereka tidak beriman. Keimanan itulah yang menjadikan seseorang dekat dengan Allah Swt. Terdapat korelasi yang jelas antara perintah berpuasa dengan latar belakang keimanan seseorang. Allah Swt tidak akan memerintahkan orang non-mukmin untuk berpuasa, karena seruan Allah ditujukan kepada mereka yang mukmin. Dengan kata lain, puasa adalah salah satu implementasi dan wujud dari keimanan dan pada waktu yang sama mereka yang beriman sajalah yang mendapatkan perintah berpuasa dari Allah Swt secara langsung.

Ketiga, kewajiban puasa merupakan kewajiban yang masyakah (masyaqqoh). Allah Swt mengungkapkannya dengan kata (كُتِبَ) “diwajibkan” bukan kata “furidha” atau “wujiba”. Kata kutiba adalah kata bentuk pasif (mabni majhul) dari kata “kataba” bentuk aktif (mabni maklum). Bentuk kalimat aktifnya adalah “kataba Allahu `alaikum ash-shiyâm” (Allah Swt mewajibkan kepada kalian berpuasa). Terdapat sejumlah alasan, mengapa fa`il (pelaku) dihilangkan dan kata kerjanya (kalimat fi`il) dijadikan pasif (mabni majhul), antara lain: pelaku sudah diketahui bersama, pelaku dirahasiakan; merendahkan; mengagungkan; pelakunya belum diketahui; dan lain sebagainya. Di dalam ayat puasa di atas, pelakunya sudah jelas, yaitu Allah Swt, akan tetapi karena ibadah puasa ini ibadah yang berat, Allah Swt merahasiakan atau menutupi dirinya dalam kewajiban ibadah puasa tersebut. Jelasnya, Allah Swt sebenarnya tidak menginginkan manusia dalam kondisi masyakah (sempit atau berat), maka di dalam ayat tersebut Allah Swt tidak menyebutkan dirinya sebagai pelaku yang menyebabkan manusia merasakan masyakah itu. Disini kita diajari agar kita mendahulukan adab dari pada ilmu. Pesan ta`adduban ma`allâh (sopan kepada Allah Swt) merupakan pesan sinyal yang dikirimkan melalui susunan ayat puasa di atas. Seperti halnya dalam adab bertutur kata dan berpendapat, para sahabat nabi mengatakan: jika ada kebaikan maka itu datangnya dari Allah Swt, tapi jika ada keburukan dan kesalahan maka itu datangnya dari diri saya pribadi.

Keempat, syariat puasa adalah syariat para nabi terdahulu. Dalam ayat puasa di atas, jelas sekali Allah Swt menyatakan كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ (sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu). Syariat puasa adalah syariat nabi-nabi terdahulu, sebut saja syariat nabi Dawud as, yaitu puasa sehari dan buka sehari berikutnya (puasa ndawud) yang dalam syariat Islam puasa ini menjadi salah satu puasa yang disunnahkan oleh Rasulallah Saw. Al-Quran juga menceritakan salah satu syariat puasa yang ada pada zaman nabi Zakariya as, seperti yang dapat kita baca dalam QS. Maryam berikut ini:

فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا

Maka katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini (QS. Maryam: 26)

Dikisahkan, pada saat orang-orang menghujat, memaki, dan merendahkan Maryam karena dia melahirkan seorang putra tanpa diketahui menikah terlebih dahulu, Maryam tidak membalas hujatan itu dan beliau justri ber-nadzar melakukan puasa, yaitu puasa tidak berbica dengan seorang pun, hingga akhirnya Allah Swt memberikan keajaiban kepada bayi Isa yang masih dalam kandungan namun sudah dapat berbicara menjawab tuduhan dan hujatan itu.

Jika dibandingkan, syariat berpuasa dalam Islam, yaitu puasa dengan tidak makan dan tidak minum, tentu puasa ini lebih ringan dibandingkan syariat puasa pada zaman nabi Zakariya as itu, yaitu puasa menahan diri untuk tidak berbicara kepada seorang pun. Begitu juga kebanyakan syariat-syariat Islam yang umumnya lebih ringan dibandingkan syariat para nabi terdahulu. Oleh karena itu, kita semua umat Islam, seharusnya bersyukur dengan menjalankan puasa pada bulan Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Semoga kita diberikan pertolongan oleh Allah Swt. Amin ya Rabbal alamin.

 

  • Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Dakwah Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban Jawa Timur

 

Kesempurnaan Islam di Hari Arafah

Oleh Nur Faizin Muhith

 

Allah Swt berfirman di dalam sebagian dari ayat 3 QS. Al-Maidah:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Ketika kita dahulu belajar ilmu Nahwu, tepatnya ketika kita membahas tanda-tanda kalimat isim, kita biasa diperkenalkan tentang macam-macam al (ال) yang masuk pada kalimat isim. Terdapat bermacam-macam al, antara lain adalah al lil ahdi yang dibagi menjadi li ahdidz dzihni (diketahui dalam hati pembicara), li adhidz dzikri (diketahui karena telah disebutkan sebelumnya) dan li ahdil hudhur (diketahui karena hadir saat pembicaraan itu terjadi). Al pada kalimat (الْيَوْمَ) dalam ayat di atas adalah contoh li ahdil hudhur. Dalam riwayat sababun nuzul ayat itu dijelaskan bahwa ayat ini diturunkan oleh Allah Swt pada saat baginda Rasulallah Saw melakukan ibadah haji, tepatnya tanggal 9 Dzulhijjah pada waktu beliau menjalankan rukun haji yang paling penting, yaitu wukuf di Arafah.

Terjamah ayat iitu seperti ini “pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. Pada hari ini, hari turunnya ayat ini, hari dimana Allah Swt meng-khithobi baginda Rasulullah Saw, agama Islam telah disempurnahkan. Kesempurnaan itu dinyatakan Allah Swt pada hari yang paling mulia. Islam adalah nikmat Allah Swt yang terbasar, namun dalam ayat itu Allah Swt masih perlu untuk menyatakan “Aku cukupkan nikmat-Ku”. Nikmat apakah yang dimaksud oleh Allah Swt di dalam ayat ini?

Nikmat yang dimaksud adalah dapat menjalankan ajaran Islam itu. Mengaku Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, namun jika masih belum menjalankan shalat dengan baik, maka berarti belum mendapatkan nikmat yang sempurna. Mengaku Islam dengan rajin pergi ke masjid belumlah sebuah kenikmatan yang sempurnah jika ternyata masih enggan mengeluarkan zakat dari hartanya. Mengaku beragama Islam dengan rajin berzakat dan bersedekah belumlah sebuah nikmat yang sempurna jika belum mampu menjalankan puasa Ramadhan dengan baik. Mengaku muslim dengan rajin berpuasa Ramadhan belumlah sebuah nikmat yang sempurna jika ternyata dia belum dapat menjalankan ibadah haji.

Haji menjadi penyempurna nikmat Allah Swt, sungguh benar sekali jika Allah Swt menyatakan di dalam ayat itu bahwa Dia telah menyempurnakan nikmatnya kepada Rasulallah Saw dan juga para shahabat saat itu pada waktu menjalankan haji wada` tepat pada saat-saat wukuf di Arafah. Kenikmatan Allah Swt kepada mereka yang telah mampu menjalankan ibadah haji sungguh telah disempurnakan oleh Allah Swt. Oleh sebab itulah para jamaah haji harus bersyukur dengan sedalam-dalamnya kepada Allah Swt.

Melalui perintah kepada nabi Ibrahim, Allah Swt mengundang seluruh manusia agar mereka hadir ke lembah Makkah di Masjidil Haram mengitari Ka`bah disana. Namun tidak semuanya kemudian dapat menhadiri panggilan itu. Tidak semuanya diberikan kesempatan dan kemampuan untuk memenuhi panggilan itu. Betapa banyak orang yang kaya harta, namun mereka meninggal dunia sebelum sempat menjalankan ibadah haji. Betapa banyak orang sehat, namun ternyata sampai mati pun dia belum menunaikan ibadah haji ini. Betapa banyak orang yang sedang antri, daftar tunggu giliran haji lalu kemudian dipanggil Allah Swt sebelum dirinya sempat menginjakkan kakinya di tanah Arafah dalam manasik wukuf. Jika demikian, alangkah besar karunia Allah Swt yang telah diberikan kepada para jamaah haji itu.

Terkait memenuhi panggilan dari Allah Swt ini, menarik apa yang disampaikan Imam Ibnu Athaillah As-Sakandari dalam kitabnya al-Hikam. Beliau menyebutkan:

أخرج من أوصاف بشريتك عن كل وصف مناقض لعبوديتك لتكون لنداء الحق مجيبا ولحضرته قريبا

Keluarlah kamu dari sifat-sifat manusiawimu, setiap sifat yang berlawanan dengan kehambaanmu (kepada Allah Swt) agar engkau pantas menjadi orang yang menjawab panggilan-Nya dan dekat dengan-Nya.

Syaikh Asy-Syarqawi dalam penjelasannya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sifat-sifat manusiawi seseorang ini mencakup sifat-sifat yang lahiriyah dan juga sifat-sifat batiniyyah. Sifat-sifat lahiriyah yang bertentangan dengan kehambaan seseorang kepada Allah Swt adalah sifat-sifat yang melakat pada anggota badannya, seperti mulutnya, matanya, telinganya, tangannya, kakinya, perutnya, kemaluannya dan lain sebagainya. Suatu hal yang sangat manusiawi orang yang punya mulut jika kemudian dia berbicara, namun sungguh tidak pantas dirinya mengaku telah memenuhi panggilan Allah jika ternyata mulutnya masih senang menggunjing orang lain, mencemooh orang lain, mengolok-olok orang lain.

Sungguh manusiawi orang yang punya mata senang melihat-lihat, namun sangat tidak pantas ada orang yang mengaku telah memenuhi panggilan Allah ke tanah suci jika ternyata matanya tak dapat berhenti dari melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Punya telingan, maka sangat manusiawi jika digunakan medengarkan, namun tidak layak bagi seseorang untuk mengaku telah memenuhi panggilan Allah jika ternyata telinganya belum dapat berhenti dari mendengarkan hal-hal yang diharamkan, begitu juga seterusnya.

Lebih dari itu, perkataan Ibnu Athaillah ini juga menyindir para jamaah haji yang merasa telah memenuhi panggilan Allah Swt, namun ternyata sifat-sifat manusiawi yang ada di dalam hatinya masih belum dapat dikendalikan dan ditundukkan untuk benar-benar menghamba kepada Allah Swt. Sombong karena kaya, tampan, cantik, pandai, alim, suatu hal yang manusiawi muncul, namun sifat itu tak pantas disandang orang yang telah memenuhi panggilan Allah. Pamer kekayaan, ilmu, kepangkatan dan jabatan, cukup manusiawi jika dilakukan seseorang, namun bagi seorang yang mengaku memenuhi panggulan Allah, sungguh hal itu sangat tidak pantas. Iri dengki saat melihat orang lain yang sukses dan berhasil, cukup manusiawi, namun hal ini menjadi sangat tidak pantas jika masih melekat dalam diri seseorang yang katanya telah memenuhi panggilan Allah ke tanah suci.

Sebaliknya, seorang yang mengaku dirinya memenuhi panggilan Allah Swt, maka dia harus merasa rendah hati, khusyu` di hadapan Allah, menjaga perintah dan batasan-batasan Allah serta ihlas dalam menjalan semua bentuk ibadah kepada Allah Swt. Orang yang telah memenuhi panggilan Allah adalah mereka yang mampu mengendalikan dirinya beserta semua anggota badannya untuk senantiasa berada di jalan dan garis yang telah ditentukan oleh Allah Swt. Orang yang telah memenuhi panggilan Allah Swt adalah mereka yang benar-benar mampu mengdalikan jiwa dan nafsunya untuk senantiasa berada di pada jalur lurus yang terang benderang hingga kelak dipanggil Allah Swt dapat masuk ke dalam surgaNya.

Jangan sampai seruan-seruan jamaah haji “labbaikallahumma labbaik” itu kemudian diacuhkan Allah Swt. Jangan sampai seruan talbiyah itu tidak digubris oleh Allah dan justru dijawab “la labbaika wa la sa`daika” (tak ada labbaik-labbaik kan, tak ada keberuntungan bagimu). Jangan sampai pada saat kita dipanggil oleh Allah Swt untuk terakhir kalinya, untuk menghadap ke hadiratnya, meninggal dunia nanti, kita kemudian diacuhkan, tidak digubris oleh Allah Swt karena kita masih mememilihara sifat-sifat manusiawi dalam diri kita dalam hati kita.

Tentunya kita ingin dapat kembali kepada Allah Swt saat menghadap kepadanya nanti dipanggil oleh Allah Swt dengan panggilan yang menyenangkan, dengan panggilan mesra seperti seorang kekasih yang memanggil kekasihnya, kemudian dikumpulkan bersama-sama dengan hamba-hamba di dalam surgaNya.

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ . ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً . فَادْخُلِي فِي عِبَادِي . وَادْخُلِي جَنَّتِي

Hai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku. masuklah ke dalam syurga-Ku (QS. Al-Fajr: 27-30)

 

  • Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Dakwah Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban Jawa Timur